Unsur- unsur Pasal 111 UU No. 35 Tahun
2009 tentang Narkotika.
1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan
hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
2)
Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai,
atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang
pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pengertian tindak pidana dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan
dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik,
sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan
istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Perbuatan
pidana adalah ”Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.”
(Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hal 54) .
“Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum
pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut.” (Poernomo, Bambang. Asas-asas
Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992, hal 130).
Pada umumnya, orang diacam pidana kerena
melakukan suatu perbuataan(act). Namun bisa juga karena “tidak berbuat”
(omission), orang diancam dengan pidana. [1] setiap
orang bagian dari subjek hukum yang prilakunya atau perbuataanya dapat di
pertanggung jawabkan.
Seseorang dapat dipersalahkan melakukan
perbuatan sebagaimana yang dirumuskan dalam delik atau tindak pidana narkotika yang
diatur dialam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika apabila dapat dibuktikan
berdasarkan adanya minimal 2 (dua) alat bukti sah yang karenanya dapat
meyakinkan Majelis Hakim mengenai perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh
unsur-unsur delik yang terdapat dalam Pasal 111 ayat (1)
Yang terdiri dari beberapa unsur-unsur
dalam rumusan pasal 111 ayat (1) :
a. Unsur setiap orang
b. Unsur tanpa hak atau melawan hukum.
c. Unsur menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
d. Unsur Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman.
Apabila subjek hukum, dapat memenuhi
Unsur-unsur delik secara objektif dan subjektif dapat dijerat dengan sanksi
pidana. Untuk menganalisis dari pasal 111 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, maka subjek hukum baru dapat diberikan sanksi pidana apabila
memenuhi unsur-unsur delik objektif dan subjektif sebagai berikut:
Unsur objektif :
Unsur objektif merupakan unsur dari luar
prilaku (heteromon) yang terdiri atas :
a. Perbuataan
manusia..
b. Akibat
(refults) perbuataan manusia.
c. Keadaan-keadaan
(cirsumstances)
d. Sifat
dapat dihukum dan sifat melawan Hukum.
Dalam unsur objektif yang dikategorikan
suatu perbuataan pidana dapat memenuhi:
1. Memenuhi rumusan UU atau Asas Legalitas
a. Asas
legalitas formil : (Pasal 1 (1) KUHP “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana,
kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah
ada”). Jadi setiap perbuataan orang atau setiap orang dapat dikatakan melakukan
perbuataan pidana, seperti di atur dalam pasal 111 ayat (1) UU No. 35 Tahun
2009 tentang narkotika harus memenuhi unsur-unsur:
a) Unsur setiap orang
b) Unsur tanpa hak atau melawan hukum.
c) Unsur menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
d) Unsur Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman.
b. Asas
legalitas materiil : yaitu hukum yang berlaku didalam kehidupan masyarakat
(lihat Pasal 14 (2) UUDS 1950 san pasal 5 (3) sub UU No. 1 drt 1951.). selama
tidak ada pertentangan dengan masyarakat, aturan dalam pasal 111 ayat (1) dapat
memenuhi unsur dari asas legalitas untuk menentukan suatu tindak pidana.
2. Bersifat melawan Hukum atau Tanpa Hak.
Sejak perubahan pedapat Hoge raad
Tersebut, doktrin membedahkan Wederrechtelijk (melawan hukum) atas :[2]
a. Melawan
Hukum dalam arti materiil : Wederrechtelijk materiil (melawan hukum materiil)
pada hakikatnya tidak didasarkan pada perundang-undangan.
Oleh tindakan yang didasarkan suatu alasan pembenar yang kuat.
b. Melawan Hukum dalam arti Formil, (menurut ajaran Wederrechtelijkheid),
sautu perbuataan hanya dapat dipandang sebagai sifat wederrechtelijk apabila perbuataan
tersebut memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan sautu
delik menurut undang-undang.
Dalam analisis pasal 111 ayat (1) UU No.
35 Tahun 2009 tentang Narkoba, mengadung unsur melawan hukum atau Tanpa hak :
Apabila perbuataan telah mencocok larangan
undang-undang, maka disitu ada kekeliruan. Letak melawan hukumya perbuataan
sudah ternyata, dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang, kecuali jika
termasuk pengecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang pula. Bagi
mereka ini melawan hukum berarti melawan undang-undang.pendiri demikian
dinamakan pendiri yang formal. Sedangkan sebaliknya ada yang berpendapat bahwa
tentu kalau semua perbuataan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat
melawan hukum. Bagi mereka ini yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang
saja, disamping undang-undang (Hukum yang tertulis) ada pula hukum yang tidak
tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan yang berlaku dalam masyarakat.
Pendiri yang dinamakan pendiri material.[3]
Dalam hal ini apabila ada seseorang atau
setiap orang[4] (Korporasi
adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan,
baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Artinya setiap
orang bisa termasuk dalam unsur korporasi maupun sebagai subjek
hukum tersendiri) yang Melawan hukum dengan cara menanam adalah
Tanaman, apa saja yang ditanam, sayur, buah, rumput-rumputan dan termasuk
semuanya (Badudu dan sutan mohammad zain, kamus umum bahasa indonesia (jakarta
: pustaka sinar harapan : 1994)) artinya apabila ada setiap irang yang
aktivitas menanam tanaman jenis Narkotika Golongan I dapat dikategorikan melawan
hukum, sedangkan yang dimaksud dengan Memelihara, memiliki(Mempunyai
harta benda yang cukup), menyimpan(menaruh sesuatu di _ artinya menaruh
sesuatu bisa dalam bentuk Narkotika), menguasai (berkuasa pd,
berkuasa atas artinya berkuasa pada Tanaman Narkotika dalam bentuk Golongan I),
atau menyediakan (menyiapkan, menyajikan,
mengadakan, mencadangkan: yaitu Narkotika) Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman adalah bentuk sifat melawan Hukum.
Sedangkan yang dimaksud dengan Tanpa
Hak “Tanpa hak” pada umumnya merupakan bagian dari “melawan hukum” yaitu
setiap perbuatan yang melanggar hukum tertulis (peraturan perundang-undangan)
dan atau asas-asas hukum umum dari hukum tidak tertulis. Lebih khusus yang
dimaksud dengan “tanpa hak” dalam kaitannya dengan UU No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika adalah setiap orang (Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan) tanpa izin dan atau persetujuan dari pihak yang
berwenang untuk itu, yaitu Menteri atas rekomendasi dari Badan Pengawas Obat
dan Makanan atau pejabat lain yang berwenang berdasarkan Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika dan peraturan perundang-undangan lain yang
bersangkutan. Walaupun “tanpa hak” pada umumnya merupakan bagian dari
“melawan hukum” namun sebagaimana simpulan angka 1 di atas yang dimaksud “tanpa
hak” dalam kaitannya dengan UU No. 35 Tahun 2009 adalah tanpa izin dan atau
persetujuan dari Menteri yang berarti elemen “tanpa hak” dalam unsur ini
bersifat melawan hukum formil sedangkan elemen “melawan hukum” dapat berarti
melawan hukum formil dan melawan hukum materiil. Tanpa hak yaitu tidak
mempunyai kekuasaan, kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum;
tuntutan syah agar orang lain bersikap dengan tertentu; kebebasan untuk
melakukan sesuatu menurut hukum. Artinya tidak mempunyai dimaksud dengan pasal
112 yaitu tidak mempunyai hak tanpa ada persetujuan Menteri atas
rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. dan izin pengelolaan dari
pihak yang berwenang mentri.
Melawan Hukum yaitu suatu sikap
yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau melanggar hak orang
lain. Dalam hal ini sifat melawan hukum berkaitan erat dengan pelaku
bertentangan melanggar aturan dengan melakukan perbuataan yang bertentangan
dengan undang-undang terkait dengan memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan norkotika padahal barang haram tersebut dilarang beredar
terkecuali untuk kepentingan tertentu sesuai yang di atur dalam undang-undang.
Terkait dengan sistem pelaksanaan dan tata
cara pengelolaan narkotika untuk kepentingan memenuhi ketersediaan Narkotika
untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Dan sumber dari Ketentuan mengenai syarat dan tata cara
produksi, impor, ekspor, peredaran, pencatatan dan pelaporan, serta pengawasan
Prekursor Narkotika diatur dengan Peraturan Pemerintah
Unsur objektif dalam tindak pidana tidak
dapat terpenuhi jika, “Ada Alasan Pembenar” yaitu :
a. Pasal
49 (1) KUHP “Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan
terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau
harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman
serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum”
b. Pasal
50 KUHP “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan
undang-undang, tidak dipidana.”
c. Pasal
51 (1) KUHP “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah
jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.”
Jadi tindak pidana meskipun telah memenuhi
ketentuan pasal 111 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009, akan tetapi unsur objektif
dalam tindak tidak dapat terpenuhi jika “ada alasan pembenar”.
Unsur Subjektif
Unsur subjektif adalah unsur yang berasal
dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman
kalau tidak ada kesalahan” (An act does not make a person guilty unless
the mind is guilty ar actus non facit reum nisi mens sit rea).[5] Dalam
hal ini dianggap melakukan kesalahan apabila pelaku dapat bertanggung jawab,
dalam menjelaskan arti kesalahan, kemampuan bertanggung jawab dengan singkat
diterangakn sebagai keadaan batin orang normal, yang sehat.[6] Dalam
KUHP kita tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggung jawab. Yang
berhubungan dengan itu ialah pasal 44 :
(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan
kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena
penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya
karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim
dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling
lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
(3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan
Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
Dalam analisis pada tindak pidana yang diatur dalam pasal 111 ayat (1) UU
No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, pelaku tidak dapat dipertanggung jawabkan
prilakunya seperti yang dimaksud dengan pasal 111 ayat (1) apabila seperti yang
para sarjana kiranya dapat diambil kesimpulaan , bahwa untuk adanya kemampuan
bertanggung jawab harus ada :
1. Kemampuan untuk membeda-bedahkan antara
perbuataan yang baik dan yang buruk; yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut
keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
Jadi apabila ada seorang yang kehilangan akal sehatnya jadinya tidak dapat
membedahkan perbuataan mana yang baik dan buruk, sehingga apabila ada orang melakukan
tindakan/perbuatan hukum yang diatur dalam pasal 111 ayat (1) tidak dapat
mempertanggung jawabkan prilakunya. Orang yang tidak mampu bertanggung jawab
karena jiwanya tidak normal, mungkin dianggap berbahaya bagi masyarakat. Karena
itu dalam pasal 44 ayat (2) hakim memerintahkan agar terdakwa dtempatkan dalam
rumah sakit jiwa.
Selanjutnya kesalahan yang dimaksud ada dua yaitu :
1. Kesengajaan.
Menurut teori kehendak kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada
terwujudnya perbuataan seperti dirumuskan dalam wet. (de op
verwerkelijking der wettelijke omschrijving gerichte wil,) sedangkan menurut
yang lain, kesengajaan adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui
unsur-unsur yang diperlukan menurut rumusan wet (de wil tot handelen bij voorstelling
van de tot de wettelijke omschrijving behoorende besttanddelen).
Secara umum, pakar hukum pidana telah menerima adanya 3 (tiga) bentuk
kesengajaan (opzet), yakni:
a. Kesengajaan sebagai
maksud(opzet als oogmerk)
Agar dibedahkan antara “maksud” (oogmerk) dengan motif. Sehari-hari, motif
dindetikkan dengan tujuan. Agar tidak timbul keragu-raguan, diberikan contoh;
Pada contoh diatas, dorongan untuk ... disebut dengan motif. Adapun maksud,
adalah kehendak A untuk melakukan perbuataan atau mencapai akibat yang menjadi
pokok alasan diadakaannya acaman hukuman pidana, dalam hal ini .......
b. Kesengajaan dengan keinsafan
pasti(opzet zekerheidbewustzijn)
Si pelaku (doer or dader) mengetahui pasti atau yakin benar bahwa selain
akibat dimaksud, akan terjadi suatu akibat lain. Si pelaku menyadari bahwa
dengan melakukan perbuataan itu, pasti timbul akibat lain.
c. Kesengajaan dengan keinsafan
kemungkinan(dolus evebtualis)
Kesengajaan ini juga disebut “kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan”
bahwa seorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat
tertentu. Akan tetapi,si pelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain
yang juga dilarang dan diacam oleh undang-undang.
2. Kealpaan.
Kedua hal tersebut dibedahkan
“kesengajaan” adalah dikehendaki, sedang “kealpaan” adalah tidak dikehendaki.
Umunya para pakar sependapat bahwa “kealapaan” adalah bentuk kesalahan yang
lebih ringan dari “kesengajaran”. Itulah sebabnya, sanksi atau acaman hukuman
terhadap pelanggaran norma pidana yang dilakukan dengan kealpaan, lebih ringan.[7]
Unsurs ubjektif dalam tindak pidana tidak
dapat terpenuhi jika, ada alasan pemaaf :
a. “tidak dapat bertanggung jawab”
Pasal 44 (1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau
terganggu karena penyakit, tidak dipidana. (2) Jika ternyata
perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan
jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan
supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai
waktu percobaan.
b. “Overmacht” Pasal 48 Barang siapa
melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.
c. “Noodweer excess” pasal 49 ayat
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh
keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak
dipidana.
d. “Perintah tanapa wewenang” pasal 51
ayat (2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana,
kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah
diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan
pekerjaannya.
Jadi tindak pidana meskipun telah memenuhi
ketentuan pasal 111 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009, akan tetapi unsur subjektif
dalam tindak tidak dapat terpenuhi jika “ada alasan pemaaf”.
Sanksi Pidana.
Pasal 10 Pidana terdirl atas:
a. pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.
b. pidana tambahan
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim
Teori imbalan :
Menurut Immanuel kant selaku ahli filsafat
berpendapat bahwa dasar hukum pemidanaan harus dicari dari kejahatan itu
sendiri, yang telah menimbulkan penderitaan pada orang lain, sedang hukuman itu
merupakan tuntutan yang mutlak (absolute) dari hukum kesusilaan. Disini hukuman
itu merupakan suatu pembalasan yang etis.
Teori maksud dan Tujuan.
Berdasarkan teori ini, hukuman dijatuhkan
untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki
ketidkpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus
dipandang secara ideal. Selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah
(prevensi) kejahatan.
Teori gabungan.
Pada dasarnya, teori gabungan adalah
gabungan kedua teori diatas. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa
penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam
masyarakat dan memperbaiki pribadi penjahat. Dengan menelaah teori diatas,
dapat disimpulkan tujuan pemidanaan adalah :
a. Menjerahkan
penjahat;
b. Membinasakan
atau membuat tak berdaya lagi si pelaku.
c. Memperbaiki
pribadi si penjahat.
Apabila dalam hal ini, tersangka telah
memenuhi unsur subjektif dan objektif dalam tindak pidana yang di atur dalam
pasal 111 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika. Dapat dipidana
sesuai ketentuan yang dimaksud dengan aturan tersebut “dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).”
[4] tiap (-tiap) 1
masing-masing, per, sendiri-sendiri ; 2 saban. orang, 1
manusia (bukan hewan, bukan malaikat): rupanya dibulan tak ada; 2
yang dimaksud orang bukan diri sendiri; jangan semaumu menggunakan barang-; 3
yang dimaksud diri-nya tak ada dirumah surat itu saya titipkan saja; 4 umum
masyarakat: kalau kau berbuat begitu, apa kata –nanti? 4 anak buah hati-hati,
nya selalu mengawasi siapa saja yang datang dari situ; 5 kata bantu bilangan
sebagai penggolong benda : lima- murid disuruh ke depan kelas; 6 bangsa: jepang
terkenal rajin dan ulet; 7 yang datang dari suatu daerah atau kota : kami
bandung –bukan jogja.( Badudu dan sutan mohammad zain, kamus umum bahasa
indonesia ( jakarta : pustaka sinar harapan : 1994))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar