Kesadaran Hukum Bagi Pengendara
Motor
(Tentang Kepemilikan Sim)
PRODI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2012-2013
Latar Belakang.
Pada kesempatan
kelompok kami melakukan mini riset pada pengemudi sepeda motor dalam mematuhi
peraturan perundangan-undangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan, yaitu di fokuskan kepada
syarat-syarat dalam mengendarai sepeda motor, yaitu yang tercantum dalam pasal
77
1.
Setiap
orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin
Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan.
2.
Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas 2 (dua) jenis:
a.
Surat
Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor perseorangan; dan
b.
Surat
Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum.
3.
Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi, calon
Pengemudi harus memiliki kompetensi mengemudi yang dapat diperoleh melalui
pendidikan dan pelatihan atau belajar sendiri.
4.
Untuk
mendapatkan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum, calon Pengemudi wajib
mengikuti pendidikan dan pelatihan Pengemudi angkutan umum.
5.
Pendidikan
dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya diikuti oleh orang yang
telah memiliki Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor perseorangan .
Dalam mini
riset kami fokuskan kepada pengendara sepeda motornya, yang melintasi kawasan
tertib lalu lintas di kawasan jl. Solo dari sekitar per-empatan janti sampai
per-empatan di UIN Sunan Kalijaga, dengan konsep riset dengan membagikan
kepengendara motor dan wanwancara secara langsung kepada pihak terkait.
Dalam riset ini
konsep penulisan dan laporan singkat ini kami sekelompok menggunakan pendekatan
dari teori M.C friedmen yaitu dengan unsur-unsur yang terbagi menjadi tiga
unsure yaitu: a. stuktur b. subtansi atau aturan c. budaya hokum.
Tetapi dalam
kajian ini lebih dititik tekankan kepada budaya hokum dari masyarakatnya, dari
riset mini kami berharap kita semua menjadi awal perubahan dari budaya hokum
suatu masyarakat.
Dengan konsep
membahasan demikian:
Judul :Kesadaran
Hukum Bagi Pengendara Motor (Tentang Kepemilikan Sim)
Bab I : Pemahaman Budaya Hukum.
Bab II : Pengalian Nilai Kesadaran Hukum
( Tentang Kepemilikan Sim)
Bab III : Akibat Delik Pelanggaran Kepemilikan Sim.
Bab IV :Kebijakan
Pembaharuan budaya hokum (tentang pemahaman Kepemilikan Sim)
Pembahasan.
Bab I : Pemahaman Budaya Hukum.
budaya adalah adalah hal yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat,
dan terus menerus menjadi suatu hal kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat.
Penulis berpendapat bahwa dalam budaya hokum masyarakat Indonesia akan lahir
dengan baik yaitu berkaitan dengan latar belakang dari kehidupan dan
lingkungannya, tetapi hal ini di dukung dengan pengetahuan umum dan kesadaraan
dari pribadi.
Berkaitan
dengan budaya hokum tentang pengendara sepeda motor untuk memiliki SIM(surat
izin mengemudi), penulis berpendapat masih banyak dari 20 orang sampel para
pengendara yang yang menunjukan budaya hokum yang baik hanya 5 orang. Ini
ditunjukan dengan banyak dari 15 orang tersebut bisa mengendarai sepeda motor[1]
sejak Sekolah Dasar (SD) maupun sekolah menengah pertama (SMP), dan masih
dibawah umur yang seharusnya. Ini menunjukan dari awal mereka mengendarai motor
tidak punya SIM dan hal ini pastinya didukung oleh orang tuanya dan pihak
lain-lain untuk belajar motor padahal hal ini bertentangan dengan yang
seharusnya. Yang mengherankan dari semua
responden menyatakan bahwa SIM itu penting, tetapi ini yang menjadi pertanyaan
besar mengapa budaya seperti ini masih ada, atau ada apa dengan budaya hokum
kita? Dan juga Yang
menjadi kita
prihatin masih ada yang sudah mengendara motor kemana saja dan sudah memasuki
usia dewasa tidak mempunyai SIM, pada disatu sisi dia mahasiswi ilmu hokum fak.
Syari’ah dan hukum( UIN sunan kalijaga yogyakarta ). Ini kuga menjadi pertanyaan
besar sejauh mana orientasi pendidikan hokum di Negara ini, apa hanya orientasi
profesi sebagai mencari uang dan mencari keuntungan ( dunia pendidikan dan
masiswanya). Penanamam budaya hokum untuk pembaharuan hokum nasional seharusnya
dilakukan juga oleh pendidikan Hukum.
Ini menunjukan
bahwa budaya hokum bangsa ini masih kurang dan perlu pemahaman yang mendasar
dengan adanya suatu kesadaran dari pihak-pihak terkait untuk mengawasi dari
para pengendara, dan peran serta orang tua untuk mengizinkan putra dan putrinya
ketika memang sudah bisa mengendarai motor bila mempunyai SIM dan umur mereka
sudah sewajarnya sebagai pengendara motor, berdasarkan ketentuan yang berlaku.[2]
Bab II : Pengalian Nilai Kesadaran Hukum ( Tentang Kepemilikan Sim).
Dalam pencapaian menuju Negara hokum yang bisa menetibkan dan
menjaga ketertiban masyarakat. Di butuhkan pengalian nilai dan penanaman nilai.
Ini adalah proses menuju Negara hokum yang ideal. Dalam ilmu filsafat hokum
untuk menuju keadilan diperlukan nilai-nilai. Karena nilai hirarkinya berada di
atas keadilan.[3]
Keinginan dan
nusaha untuk melakukan pengalian hokum tidak tertulis (baik bersumber dari
agama dari hokum tradisioanal/adat) sudah cukup banyak dan cukup lama dikemukan
di Indonesia. Hal ini banyak dikemukan dalam tulisan-tulisan atau pendapat para
ahli /sarrjana, pejabat, wakil wakil rakyat maupun terlihat dari hasil-hasil
penelitian dan pertemuan ilmiah. Keinginan dan peryataan-peryataan perlunya
digali norma hokum agama dan hokum tradisional, menunujukan kesadaran perlunya
digali hokum tradisional, menunujukan kesadaran perlunya di gali hokum yang
bersumber dan berakar pada nilai-nilai budaya , moral, keagamaan. Kesadaran
akan perlunya menggali dan memanfaatklan norma-norma hokum yang bersumber pada
nilai-nilai budaya dan moral keagamaan di lain pihak berarti menunjukan
kecenderungan adanya ketidakpuasan, keprihatinan, dan krisis kepercayaan pada
sisitem hokum dan kebijakan hokum yang selama ada. Kecenderungan demikian,
tampaknya juga menjadi kecenderungan dan keprihatinan kongres-kongres
internasional di bidang hokum pidana dan krimonologi.[4]
Pengalian nilai
dari masyarakat diperlukan mengapa mereka masih melanggar pelanggaran tersebut
sejak kecil maupun saat ini belum mempunyai SIM, hal ini terjadi tak lepas
perkembangan zaman dan budaya asing masuk ke Indonesia dengan pesatnya
perkembangan zaman.Yaitu salah satunya karena anak sejak kecil sudah terdokri
dengan adanya jajahan dari dunia luar, yaitu dengan munculnya budaya “hari ini
tidak bisa naik motor jadul lo” teori ini sudah meracuni anak muda di bawah
umur bangsa ini. Hal ini terjadi tidak lepas adanya juga trasportasi yang tidak baik di suatu kawasan atau wilayah,
oleh sebab itu mereka lebih memilih naik motor meskipun tidak punya SIM. Dan
nilai-nilai yang ada di masyarakat sekarang mulai tidak lagi muncul, maksudnya
nilai leluhur yang ada dalam
masyarakat mulai hilang di
telan bumi.Hal ini
ditunjukan kebiasaan positif seperti berjalan
kaki kewarung depan, tetapi karena dimanjakan dengan motor sekarang
orang tua banyak naik motor meskipun jarak sekitar 50 meter, lebih prihatinya
biasanya anak-anak mereka yang dibawah umur mengendaraihnya. Hal demikian juga
terjadi di kalangan anak-anak smp di daerah-daerah sudah naik motor sendiri
kesekolah padahal hal ini tidak seharusnya.
Dalam tafsiran
penulis, mereka yang dibawah umur seharusnya tidak boleh dibiasakan. Karena
saya pandang anak di bawah umur tersebut belum paham dengan rambu-rambu lalu
lintas.
Bab III : Akibat Delik Pelanggaran (tidak mempunyai Kepemilikan Sim).
Pada dasarnya peraturan ini lahir dengan maksud agar bisa menertibabkan
lalu lintas. Untuk suatu kepastian legalitas hukum (Pasal 86
(1) Surat Izin Mengemudi berfungsi sebagai bukti kompetensi mengemudi.)
dibuatkan SIM ini bertanda masyarakat yang mempunyai sim si anggap bisa
mengedalai motor, karena sebelum pembuataan SIM ada tes-tes dan ketentuan yang
harus di taati dengan baik.[5]
Dengan demikian setiap warga yang mempunyai SIM diharapkan sudah bisa dan
tertib berlalu lintas, karena di analogikan mereka punya SIM sudah lulus ujian
dan bisa di pastikan bisa mengedarai motor dengan baik.
Pada hal ini pengedara motor melanggarnya, dalam artian tidak mempunyai
SIM berarti hal ini kemungkinan besar mereka tidak bisa dengan baik mengendarai
motor, dan akan mengakibat tidak tertibnya lalu lintas dan bisa menimbulkan
kecelaakan kepada dirinya sediri maupun dijalan raya yang berdampak kepada
orang lain.
Padahal dalam ada kentuan pidana kurunganatau denda jika melanggar
ketertiban lalu lintas dengan tidak mempunyai SIM, seperti yang tercantum
dibelakang SIM yaitu :
1.
Setiap orang yang mengemudi kendaraan bermotor
dijalan yang tidak memiliki surat izin ijin mengemudi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 77 ayat 1 di pidana kurungan paling lama 4 ( empat )bulan atau denda paling banyak Rp 1.000.00o (
satu juta rupiah) pasal 281 UU N0.22 Tahun 2009.
2.
Setiap orang yang mengemudi kendaraan bermotor
dijalan yang tidak dapat menunjukan surat izin mengemudi yang sah kendaran bermotor
yang dikemudiakan sebagai dimaksud pasal 106 ayat 5 huruf (b) dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1(satu) bulan dan/atau denda paling banyak Rp
250.000 ( dua ratus lima puluh ribu rupiah) (pasal 228 ayat 22 tahun 2009)
3.
Selain pidana penjara, kurungan atau denda,
pelaku tindak pidana alau lintas dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa
percobaan surat ijin mengemudi atau ganti kerungian yang diakibatkan oleh
tindak pidana lalu lintas ( pasal 314 UU No. 22 tahun 2009)
Bab IV :Kebijakan
Pembaharuan budaya hokum (tentang
pemahaman kepemilikan Sim)
Pada pembahasan topik kebijakan pembaharuan budaya hukum ini
berkaitan dengan dan difokuskan dengan arah pembagunan budaya hokum dengan
lahirnya UU No. 22 tahun 2009. Tapi pada pembahsan ini lebih di fokuskan
kepada “Setiap orang yang
mengemudi kendaraan bermotor dijalan yang tidak memiliki surat izin ijin
mengemudi sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 ayat 1 di pidana kurungan paling
lama 4 ( empat )bulan ataudenda paling banyak Rp 1.000.000 ( satu juta rupiah) pasal 281
UU N0.22 Tahun 2009.” Maksud dari pembahsan ini dititik beratkan kepada
pelaksaan di lapangan bagaimana masyarakat melaksanakan dan mematuhi dari isi
bunyi pasal diatas( budaya Hukum).
Pekembangan
dan pembaharuan hokum nasional lebih bijaksananya lagi tidak hanya melihat dari
sudut pandang budaya hokum saja.Lebih alangkah eloknya dengan memperhatikan unsur-unsur
hukum yang lainnya seperti yang dikemukankan oleh C. friedmen, yaitu unsure hukum
di bagi menjadi tiga bagian a. stuktur b. subtansi c. budaya hokum.Dari
pembahasan tentang pembaharuan hokum nasional berkaitan dengan bagi pengendara
sepeda motor, khusus dengan menitik tekankan kepada kepemilikan SIM.
Dari mini riset ini penulis mencoba
memberikan teori kritis terhadap tiga unsur hokum di atas yang berkaitan dengan
kepemilikan SIM yang di atur pada pasal 77 ayat 1 UU No. 22 tahun 2009.
a. struktur.
Dalam
dinamika lahirnya UU No.22 tahun 2009, adalah proses pembentukan legislatif di
masanya pada waktu itu. Ini perlu kita pahami bersama-sama undang-undang yang
lahir di Negara ini tidak lepas dari konfigurasi politik yang ada.
Undang
undang No. 22 tahun 2009.Menurut pendapat penulis sudah bagus dalam isi dan
subtansinya, demi menuju Negara hukum.Tapi bukan kita anggap persolaan stuktur
kita secara personal sudah baik, di stuktur penegakan hokum itu sendiri.Berkaitan
dengan kepemilikan SIM, berkaitan dengan stuktur pelaksaananya di kepolisian
dalam pelaksanakan fungsinya menjalankan lahirnya suatu undang-undang yang ada.
Dilihat dari
mini riset responden tidak memiliki SIM karena dengan alas an biaya yang
teerlalu mahal. Ini pertayaan besar untuk stuktur hokum bisa menyelesaikan
permasalah ini.Karena pada dasarnya ini berkitan dengan kbijakan dari
stukturnya. Di satu sisi yang lain pengalaman pribadi dalam pembuatan SIM
biasanya sering terjadi calon, mereka tidak usah mengikuti tes tetapi bisa
memiliki SIM. Ini menjadi factor mengapa samapi saat ini tidak atau kurang
kepercayaan masyarakat kepada stukutur hokum saat ini.
Dan berkaitan
dengan mengapa mereka melanggar aturan tersebut, dan banyak usia dini yang
sudah naik sepeda motor, ini juga bisa berkaitan dengan pelayanan trasportasi
public yang belum baik.
b. Subtansi
Aturan
Hukum ini berkaitan dengan masalah dengan isi dari Undang-undang yang ada,
tetapi pada undang-undang ini saya rasa sudah baik. Tetapi dari responden ada
yang berpendapat bahwa tentang umur kepemilikan SIM bisa di turunkan menjadi 15
tahun, hal ini berkitan dengan bahwa mereka di usia dini sudah bisa mengedarai
motor. Dalam kajian ini penulis berpendapat agar dari aturan ini harus lebih
respontif dari berkembangan masyarakat. Apalagi kita ketahui pada zaman modern
ini sulit untuk menjdapatkan trasportasi yang aman, layak, nyaman dan
lain-lain/
c. Budaya
Penulis
akan memberikan beberapa rekomendasi terkait dengan budaya hokum, dan atau
pelaksaan yang ideal. Untuk dapat menjaga kenyamanan pengendara motor dan
lingkungan sekitarnya yaitu.
1. Agar stuktur hokum lebih selektif dan
professional dalam pembuatan SIM sesuai dengan aturan yang berlaku dan kondisi
subjek yang berkaitan.
2. Masyarakat harus mentaati hokum yang
belku pada dasarnya, hokum dibentuk untuk menertibkan lalu lintas. Karena
dengan adanya SIM bisa menganalogika pengendara sudah bisa professional dalam
mengedara.
3. Pihak dari kepolisian bisa lebih disiplin
dan progresif dalam pelaksaanan dilapangan terkait dengan pelanggaran lalu
lintas.
[1]Pasal 78
(1) Pendidikan dan pelatihan mengemudi diselenggarakan
oleh lembaga yang mendapat izin dan terakreditasi dari Pemerintah.
(2) Izin penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan mengemudi yang diberikan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.
(3) Izin penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan mengemudi yang diberikan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan criteria
yang ditetapkan oleh Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan serta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dan Pasal 79
(1) Setiap calon Pengemudi pada saat belajar
mengemudi atau mengikuti ujian praktik mengemudi di Jalan wajib didampingi
instruktur atau penguji.
(2) Instruktur atau penguji sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas pelanggaran dan /atau Kecelakaan
Lalu Lintas yang terjadi saat calon Pengemudi belajar atau menjalani ujian.
[2]Pasal 81
(1) Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, setiap orang harus memenuhi persyaratan
usia, administratif, kesehatan, dan lulus ujian.
(2) Syarat usia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditentukan paling rendah sebagai berikut:
a. usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin
Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin D,
[3] Disampaikan pada mata kuliah pidana khusus, oleh sulistriyono pada
pertemuan tanggal 10 november 2012.
[4] Barda Nawawi, kebijakan hukum pidana ( perkembangan penyusunan
konsep KUHP Baru), ( semarang, bunga rampai,2010)hal. 322
a. ujian teori;
b. ujian praktik; dan/atau
c. ujian keterampilan melalui
simulator.
Selain persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), setiap
Pengemudi Kendaraan Bermotor yang
akan mengajukan permohonan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar